Namun karena keterbatasan anggaran yang tersedia, pembelian ini hanya bisa dibayarkan sebesar Rp920 juta pada 19 Desember 2017. Dengan dana sebesar itu, pemilik tanah hanya melepaskan lahannya seluas 4.000 meter, dan hanya akan menyerahkan sertifikat tanah tersebut, jika Pemko sudah membayar tanah tersebut secara keseluruhan (9.000 meter). Pemko pun kemudian berjanji akan menganggarkan kembali dana pembelian tanah TPU tersebut pada APBD tahun berikutnya.
“Pembayaran dana pembelian tanah tersebut dilakukan secara non tunai langsung ke rekening pemilik tanah sesuai dengan ketentuan pembayaran sebagai mana mestinya,” ujar Zulkifli.
Namun pada tahun 2018, “SA”pensiun sebagai ASN, dan jabatan kadis Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Solok pun berganti. Sementara rencana penambahan pembelian lahan sesuai kesepakatan awal tidak dilanjutkan kadis LHK berikutnya.
Pada tahun 2019, rencana penambahan biaya pembelian tanah tersebut juga urung dilaksanakan karena mayoritas kegiatan APBD Kota Solok dan DLHK terkena refocusing anggaran untuk penanganan pandemi Covid-19. Pada tahun 2020, lahan tersebut sudah tercatat sebagai asset daerah dan dibangun gapura didepan gerbang masuk ke lokasi tersebut bahkan sudah dimanfaatkan sebagai kuburan warga.
“Hingga kini sudah ada sekitar 30 lebih kuburan warga yang ada di lokasi tersebut,” katanya.
Ia menambahkan, karena persoalan keterbatasan anggaran tersebut, akhirnya dibuat kesepakatan ulang antara Pemko dengan pemilik lahan untuk melakukan pemecahan sertifikat untuk lahan seluas 4.000 meter tersebut. Namun sertifikat tersebut sudah disita oleh penyidik Polres Solok Kota sebagai barang bukti, karena dinilai adanya indikasi tindak pidana korupsi.