BUKITTINGGI, HARIANHALUAN.ID — Akhir-akhir ini, sering diberitakan tentang Pasar Tanah Abang yang lengang. Pasar yang digadang-gadang sebagai pusat grosir terbesar di Asia Tenggara itu kini sepi pembeli. Hal yang sama juga terjadi di Sumatera Barat, tepatnya di salah satu pusat grosir Kota Bukittinggi, Pasar Aur Kuning.
Pasar yang dijuluki Pasar Tanah Abang Kedua itu kini nasibnya tak jauh berbeda dengan Pasar Tanah Abang Jakarta. Sepi pengunjung, omzet pedagang turun drastis dan banyak toko yang tutup.
Berdasarkan pantauan Haluan di pasar pusat grosiran yang pernah berjaya di era tahun 90an ini pada Rabu (8/11), suasana lengang sudah terasa sejak dari pinggiran pasar. Biasanya, pinggiran pasar yang ramai dengan aktivitas bongkar muat barang. Kini tak terlihat aktivitas berarti di kawasan tersebut. Hanya terlihat sekumpulan buruh angkut yang tengah bercengkrama sambil menunggu “panggilan” dari pedagang atau pembeli yang membutuhkan jasa mereka.
Beringsut masuk ke lantai dasar pasar, gang-gang pertokoan juga terlihat sepi. Terlihat beberapa orang saja yang berlalu lalang dengan sangat santai dan nyamannya, tanpa harus berdesak-desakan seperti jalanan pasar biasanya.
Meskipun kondisi terang-berderang dan meriah dengan beragam jualan yang dipajang di setiap toko, tapi suasana di pertokoan ini terasa lengang. Bisa dihitung jari saja orang yang berlalu lalang, apakah itu pengunjung atau hanya pedagang lainnya. Suasananya sangat jauh berbeda dengan suasana ramai pasar pada umumnya.
Sepanjang jalan pertokoan, beberapa pedagang tampak bermenung dan ada juga yang bermain gawai menunggui dagangannya. Sesekali mereka melihat ke luar toko ketika mendengar suara langkah datang menghampiri sembari menawarkan dagangan kebeberapa orang yang lewat.
Di lantai dasar Pasar Aur Kuning itu, juga terlihat beberapa toko masih tutup. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB dan hari Rabu pula, di mana menurut para pedagang, waktu dan hari tersebut adalah waktu ramainya pasar ini.
Beralih ke lantai dua Pasar Aur Kuning, yakni Los Gadang, tempat berjualan yang dominan diisi para produsen konveksi lokal. Lebih kurang setengah jam berkeliling di area sekitar, juga terlihat sepi pengunjung. Berbeda dengan di lantai dasar yang masih terlihat beberapa transaksi jual beli, di sini tidak terlihat satu pun transaksi. Hanya ada pedagang yang sibuk merapikan barang dagangan mereka sembari sesekali melihat kiri kanan. Mungkin berharap ada pembeli yang datang.
Salah seorang pedagang di lantai dasar Pasar Aur Kuning Bukittinggi, Riko mengatakan, suasana sepi seperti ini sudah terjadi selama beberapa tahun belakangan, terlebih semenjak Covid-19 melanda. Di mana biasanya pada hari pasar (Rabu dan Sabtu) agak ramai, tapi sekarang setiap hari hampir sama saja.
“Sudah puluhan tahun saya berjualan di Aur Kuning, satu dua tahun belakang adalah momen penurunan kunjungan dan daya beli yang paling tinggi,” kata Riko yang menjual bermacam pakaian dewasa dan anak-anak.
Biasanya setiap Rabu dan Sabtu, setidaknya omzet toko miliknya bisa mencapai 10 hingga 15 juta rupiah dalam sehari. Namun, beberapa tahun belakang, untuk mencapai 5 juta rupiah saja dalam sehari. Sangat susah.
“Dulu, setiap Rabu dan Sabtu langganan dari daerah seperti Riau, Sumatera Utara, dan Jambi berdatangan untuk menambah barang. Namun, saat ini langganan di daerah sudah banyak yang gulung tikar dan ada juga yang berganti profesi karena susahnya berjualan. Langganan yang masih berjualan pun kalau menambah barang tidak sebanyak dulu. Paling mereka datang sekali sebulan belanja untuk mencukupkan model saja,” kata Riko.
Sementara itu, pedagang lainnya, Silvi turut mengeluhkan menurunnya kunjungan ke Pasar Aur Kuning yang berimbas menurun pula omzet dagangan. “Dulu, paling tidak omzet dalam satu hari pakan bisa mencapai 25 sampai 30 juta. Tapi sekarang jarang melebihi 5 juta rupiah,” kata Silvi pedagang pakaian fesyen wanita itu.
Akibat hal itu, ia terpaksa melakukan penyesuaian pada biaya operasional dengan menutup beberapa toko cabang dan mengurangi karyawan.
“Menjelang Lebaran tahun lalu omzet sempat naik juga, meskipun tak sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi setelah Lebaran, penjualan sangat merosot. Untuk itu, saat ini kami fokus di toko utama dulu. Sekarang, kami juga hanya memakai dua karyawan saja. Di mana sebelumnya ada tujuh orang. Hal ini dilakukan agar kami tetap bisa berjualan,” katanya.
Ditanya penyebab menurunnya kunjungan dan daya beli di Pasar Aur Kuning ini, menurut Silvi ada beberapa faktor. Pertama, musibah Covid-19 yang menyebabkan perekonomian menjadi hancur. “Hingga kini, imbas Covid-19 itu masih berlangsung. Perekonomian belum pulih. Untuk mencukupi kebutuhan pokok saja saat ini masih susah,” katanya.
Kedua, tren jual beli secara online yang terus berkembang. Saat ini, orang-orang sudah terbiasa belanja secara online. Tinggal pilih barang di smartphone, kemudian tinggal menunggu barang sampai di depan pintu rumah. Bahkan, pembayaran pun bisa dilakukan ketika barang sampai.
“Dari segi cara berjualan, jual beli online sepenuhnya tidak bisa disalahkan. Hal ini bisa dikatakan sebagai seleksi alam, bagi yang tidak mengikutinya akan ketinggalan. Tapi, jual beli online yang memperjualbelikan barang impor dengan harga yang jauh lebih murah, inilah masalahnya. Kami mau saja ikut dan sudah mencoba berjualan secara online meskipun harus mengeluarkan biaya tambahan untuk operasionalnya. Namun, kami tidak bisa bersaing dengan barang impor yang harga jualnya jauh di bawah harga modal kami,” kata Silvi.
Ia mengatakan, pemerintah saat ini sudah membuat regulasi yang lebih ketat tentang barang impor ini. Mudah-mudahan hal ini benar dan bisa diterapkan dengan tegas agar produk lokal kembali bisa bersaing, baik jualan secara offline maupun online. Kemudian ia juga berharap perekonomian Indonesia secara umum bisa kembali pulih, agar daya beli masyarakat kembali meningkat dan pasar-pasar menjadi ramai lagi termasuk Pasar Aur Kuning Bukittinggi. (h/*)