Riza (22), mahasiswa sekaligus PKL, mengaku sudah berjualan sejak awal masa kuliahnya untuk membiayai kebutuhan hidup. “Minimal saya tidak lagi minta kiriman dari orang tua di kampung. Tapi saya tahu, berdagang di sini juga melanggar,” ujarnya.
Riza mengatakan ia selalu merasa waswas jika sewaktu-waktu lapaknya digusur oleh petugas.
Sementara itu, di kawasan Jalan Teuku Umar, tepatnya di depan Puskesmas Alai, para PKL juga tampak memanfaatkan trotoar sebagai tempat berdagang. Yet, salah satu pedagang, mengungkapkan bahwa ia tidak punya pilihan lain karena keterbatasan modal.
“Kalau mulai siang, pasti ditertibkan karena dianggap ganggu K3. Makanya kami baru buka sekitar jam 4 sore. Kalau bisa, tentu kami ingin sewa tempat yang layak, tapi biayanya tidak sanggup,” ujarnya.

Di sisi lain, Satpol PP Kota Padang terus menggencarkan penertiban. Sejumlah kawasan seperti Jalan Proklamasi, Pasar Raya Barat, Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan Flamboyan, hingga Pasar Bandar Buat menjadi sasaran operasi. Para PKL kerap kali menggelar dagangan di badan jalan atau fasilitas umum yang melanggar aturan.
Namun, upaya penegakan aturan ini tidak selalu berjalan mulus. Bentrokan sempat pecah saat penertiban PKL di Jalan Permindo, Minggu (22/2), yang mengakibatkan enam orang terluka, terdiri dari tiga pedagang dan tiga anggota Satpol PP.
Kericuhan tak berhenti di situ. Sekelompok orang melakukan penyerangan ke markas Satpol PP Kota Padang di Jalan Tan Malaka, yang sempat memicu situasi memanas. Aparat kepolisian akhirnya turun tangan dan membubarkan massa secara paksa.