PADANG, HARIANHALUAN.ID — Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Padang dan kota-kota besar lainnya di Indonesia bukan semata soal pelanggaran ketertiban ruang, melainkan mencerminkan kompleksitas persoalan sosial, ekonomi, serta lemahnya tata kelola perkotaan.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Andalas, Aidinil Zetra, menyatakan bahwa fenomena maraknya PKL harus dipahami dari tiga sudut pandang, yakni sebagai gejala, sinyal sosial-ekonomi, serta potensi solusi atas problem perkotaan.
“Dalam kacamata kebijakan, maraknya PKL bisa dilihat sebagai simptom atau penyakit, parameter sosial-ekonomi, dan juga solusi darurat atas kondisi kota yang belum mampu menjamin kesejahteraan warganya,” kata Aidinil kepada Haluan.
Menurutnya, penyebab utama menjamurnya PKL adalah minimnya lapangan kerja formal di perkotaan. Banyak warga yang akhirnya memilih sektor informal sebagai upaya bertahan hidup.
“Tidak bisa serta-merta melarang orang berjualan di pinggir jalan, jika di sisi lain tidak tersedia peluang kerja yang memadai. Sektor informal, termasuk PKL, tumbuh karena negara gagal menyediakan pekerjaan layak,” ujarnya.
Aidinil menyoroti masyarakat Minangkabau yang dikenal tanggap dalam mengambil keputusan saat menghadapi situasi krisis ekonomi. Dalam banyak kasus, PKL menjadi pilihan terakhir setelah kehilangan pekerjaan formal.
“Khususnya orang Minang, saat darurat mereka cepat mengambil langkah. Ketika tak lagi punya pekerjaan, jalan menjadi solusi untuk menghidupi keluarga,” katanya.
Ia juga menilai urbanisasi tanpa perencanaan sosial dan spasial yang matang menjadi pemicu utama tumbuhnya kantong-kantong informal. Kota Padang, katanya, telah menjadi tujuan urbanisasi dari berbagai daerah di Sumatera Barat, namun belum mampu mengimbangi dengan penyediaan lapangan kerja.