Mantan anggota koperasi, Adzhim, menyebut bahwa koperasi tidak memberikan manfaat ekonomi yang jelas, bahkan cenderung menjadi beban karena adanya kewajiban iuran tanpa kejelasan manfaat. “Saya lebih tertarik mencari alternatif bisnis lain yang lebih menguntungkan, seperti fintech atau marketplace, yang pembukuannya lebih transparan dibanding koperasi yang masih menggunakan sistem manual,” kata Adzhim.
Banyak masyarakat masih menganggap koperasi tidak jauh berbeda dari tabungan biasa. Beberapa koperasi belum menerapkan teknologi yang memudahkan transaksi, sehingga kalah bersaing dengan layanan pinjaman online yang lebih praktis.
Veni, seorang pengusaha, mengaku lebih memilih modal dari bank dibandingkan koperasi simpan pinjam. “Di bank, saya bisa menyesuaikan pinjaman dengan kebutuhan modal usaha. Sedangkan di koperasi, harus menunggu keputusan bersama anggota lain, dan dananya terbatas. Prosesnya juga lebih ribet,” ujarnya.
Ketua Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI) Bina Sejahtera Sangir, Adhar Aos, juga mengungkapkan tantangan yang dihadapi koperasi saat ini. Salah satu kendala utama adalah keterbatasan modal akibat efisiensi anggaran serta akses pembiayaan yang semakin sulit.
“Banyak koperasi kesulitan mendapatkan modal tambahan untuk berkembang, ditambah dengan kondisi SDM yang belum mumpuni dalam pengelolaan bisnis koperasi. Ini sering menjadi kendala besar,” ujarnya saat dihubungi melalui WhatsApp pada Rabu (12/3).
Kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas membuat banyak anggota hanya bergabung tanpa aktif berkontribusi atau bertransaksi di koperasi. Padahal, menurut Adhar, koperasi harus mampu bersaing dengan perusahaan ritel atau layanan keuangan yang lebih agresif.