PADANG, HARIANHALUAN.ID — Dua orang Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Bukittinggi meninggal dunia, diduga karena meminum minuman keras (miras) oplosan. Akibat kejadian ini, pengawasan lapas-lapas yang ada di Sumatera Barat (Sumbar) kembali menjadi sorotan publik.
Diketahui, sebanyak 23 orang WBP Kelas II A Bukittinggi menjadi korban miras oplosan. Dari jumlah tersebut, sebanyak dua orang telah dinyatakan meninggal dunia. Satu orang meninggal dunia di RSUD Bukittinggi, Rabu (30/4) sekitar pukul 16.30 WIB. Sedangkan satu orang lagi meninggal dunia di RS Achmad Muchtar (RSAM) Bukittinggi pada Kamis (1/5) sekitar pukul 09.00 WIB.
Direktur RSAM Bukittinggi, drg. Busril membenarkan jika salah seorang WBP Lapas Bukittinggi meninggal dunia setelah mendapat perawatan di RSAM Bukittinggi. Sedangkan tiga orang masih di ruangan ICU dengan kondisi kritis.
Ia mengatakan, awalnya WBP Lapas Bukittinggi yang masuk ke RSAM sebanyak 22 orang. Sebanyak 12 orang di antaranya dirawat di RSAM dan 4 orang mengalami kritis dan dirawat di ruangan ICU. Sedangkan 8 orang sisanya dalam pemulihan.
“Dari 4 orang yang kritis, satu orang meninggal dunia tadi pagi sekitar pukul 09,00 WIB. Jadi, pasien yang masih kritis tinggal 3 orang,” kata Busril kepada Haluan saat dihubungi melalui selular, Kamis (1/5) siang.
Dijelaskannya, kondisi pasien yang datang ke RSAM bervariasi, mulai kondisi berat, sedang, dan stabil. Namun, karena keracunan, kondisinya semakin menurun. Oleh sebab itu, harus diawasi secara ketat oleh tim dokter.
Terpisah, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kemenimipas) Sumbar, Marselina Budiningsih mengatakan, dari hasil pemeriksaan, seorang tahanan pendamping (tamping) yang dipercaya mengambil sisa alkohol tanpa sepengatahuan petugas. Alkohol itu digunakan untuk program kemandirian WBP memproduksi parfum.
“Alkohol berkadar 70 persen itu dicuri oleh seorang tamping sebanyak 200 mililiter, yang akan dipergunakan untuk membersihkan tato salah satu WBP. Namun, disalahgunakan untuk mencampur miras,” katanya.
Alkohol tersebut dicampur dengan minuman sachet kemasan lalu ditambah dengan air dan es. Selanjutnya, diminum ramai-ramai hingga akhirnya menimbulkan keracunan. “Kita juga membentuk tim investigasi untuk mengumpulkan semua keterangan dan bukti, termasuk jika adanya kelalaian dari petugas lapas sehingga menimbulkan keracunan,” katanya.
Sementara itu, Kapolresta Bukittinggi Kombes Pol Yessi Kurniati mengakui telah melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP), dan mengumpulkan keterangan serta mengamankan beberapa barang bukti. Sedangkan, pemeriksaan saksi belum bisa dilakukan karena masih dalam perawatan.
“Kami telah mengamankan sisa wadah kemasan tempat mengaduk mengoplos miras. Kami masih dalam proses pengumpulan barang bukti,” katanya.
Sorot Tingkat Pengawasan Lapas
Sementara itu, anggota DPRD Sumbar, Nofrizon mempertanyakan kinerja dari Lapas Kelas II A Bukittinggi itu terkait kasus keracunan masal yang terjadi. “Pihak Lapas Kelas II A Bukittinggi harus bertanggung jawab atas musibah dialami warga binaannya hingga terpaksa dilarikan ke rumah sakit, bahkan ada yang meninggal,” kata legislator Dapil Bukittinggi-Agam itu.
Nofrizon mendesak Dirjen Pas harus menindak tegas para pegawai lapas yang diduga lalai dalam pengawasan terhadap barang yang masuk ke kamar tahanan warga binaan.
Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), Nanda Satria. Ia amat menyayangkan insiden tersebut, yang bahkan sampai merenggut nyawa dua warga binaan.
Untuk itu, ia menegaskan pentingnya pengawasan ketat di lingkungan lapas. Ia juga meminta agar pengusutan kasus dilakukan secara terbuka dan menyeluruh. “Kasus ini perlu dikawal agar penanganannya transparan dan tidak ada informasi yang ditutup-tutupi,” kata Nanda.
Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan yang memungkinkan barang terlarang, seperti alkohol masuk ke dalam lapas.
Menurutnya, hal tersebut menjadi bukti perlunya evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan. “Alkohol ini diketahui berasal dari parfum yang diduga digunakan untuk menghapus tato. Kalaupun benar untuk tujuan tersebut, tetap harus ada pengawasan dari petugas. Ini jadi tanda tanya besar,” tutur Nanda.
Ia juga menambahkan bahwa insiden seperti ini tak boleh terulang. Oleh karenanya pengawasan di seluruh lapas di Sumbar harus diperketat sebagai langkah antisipasi. (*)