Sementara itu, Deputi Infrastruktur Dasar Kemenko Infraswil, Muhammad Rachmat Kaimuddin menyampaikan bahwa pihaknya terus mengawal proyek tersebut bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN), pemerintah daerah (pemda), serta tokoh masyarakat dan adat di sekitar kawasan Sitinjau Lauik.
“Guna percepatan pembangunan, kami terus berkoordinasi dengan BPN, tokoh adat, masyarakat, serta pemda. Namun, memang masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, khususnya dalam hal perizinan lahan,” ujar Rachmat.
Ia menekankan, kejelasan status lahan menjadi kunci agar Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dapat segera mengakses area konstruksi dan memulai pekerjaan fisik. “Kami harap perizinan ini segera tuntas agar teman-teman PU bisa bekerja di lapangan tanpa hambatan,” katanya.
Diketahui, proyek pembangunan Flyover Sitinjau Lauik dibangun melalui skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU)dengan total investasi mencapai Rp2,8 triliun, ditambah biaya operasional dan pemeliharaan sebesar Rp562 miliar.
Untuk merampungkan pembangunan infrastruktur jalan strategis viral ini, dibutuhkan lahan seluas 18,7 hektare. Namun kendala di lapangan, sekitar 8,6 hektar di antaranya berstatus hutan lindung. Sementara dari sisi teknis, pekerjaan fisik meliputi pembangunan jalan sepanjang 2,8 kilometer yang terdiri atas tiga jembatan utama.
Ketiga jembatan itu dengan rincian, jembatan 1 sepanjang ±152 meter, jembatan 2 sepanjang ±120 meter, dan jembatan 3 sepanjang ±100 meter. Jalan layang ini diharapkan mampu mengatasi tantangan geografis ekstrem di jalur nasional Padang–Solok yang selama ini dikenal sebagai salah satu lintasan paling berbahaya di Sumbar.
Meski mendapat dukungan luas dari masyarakat dan pemerintah nagari di kawasan tersebut, namun masalah administratif dan teknis masih menjadi batu sandungan. Status sebagian lahan yang masuk wilayah kehutanan memerlukan penyesuaian izin lintas instansi, termasuk rekomendasi teknis dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut).














