Ia menjelaskan, pada awalnya yang ditetapkan sebagai lokasi Penas KTNA XVI adalah kawasan Aie Pacah. Namun lantaran ketersedian lahan di kawasan itu tidak mencukupi, maka muncul wacana untuk membagi lokasi Penas KTNA dengan Pariaman. Pada akhirnya didapati bahwa ada tanah milik negara yang stand by dan memenuhi syarat sebagai lokasi penyelenggaraan Penas KTNA XVI, yakni kawasan Lanud Sutan Sjahrir yang berada di bawah kepemilikan TNI AU.
Setelah iven berakhir, muncul wacana untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai destinasi agrowisata, mengingat akan sia-sia jika lokasi yang pembangunannya menghabiskan puluhan miliar rupiah itu terabaikan begitu saja dan tidak memberikan manfaat apa-apa selepas iven berakhir.
“Nah, yang perlu digarisbawahi adalah, untuk pembangunan lokasi penas tani itu, termasuk juga penyediaan aset-aset di dalamnya, apakah itu berupa banguanan ataupun tanaman, dananya tidak hanya berasal dari Pemprov saja. Justru yang lebih banyak itu dari pusat. Kalau itu dihibahkan kepada pihak Lanud, yang menghibahkan tidak cuma Pemprov, tapi juga pemerintah pusat,” tuturnya.
Walaupun itu nantinya yang mengelola adalah TNI AU, ia melanjutkan, mereka bagaimanapun akan tetap membutuhkan bantuan dari tenaga-tenaga ahli yang profesional di bidangnya. Di sinilah keterlibatan pemerintah.
“Kalau pemerintah pusat mungkin dari Kementerian Pertanian, kalau di daerah mungkin dari dinas pertanian. Jadi tetap akan ada koordinasi dengan pemerintah. Bagaimanapun, kalau tidak dikelola dengan benar, tentu tidak akan memberikan manfaat yang optimal,” kata Rosail.
Menurutnya, tidak masalah siapapun nantinya yang akan mengelola kawasan tersebut, apakah itu pemerintah daerah maupun TNI. Baginya yang terpenting adalah tujuan akhir yang ingin dicapai. Sekalipun Pemprov sendiri telah menghabiskan banyak anggaran untuk membangun lokasi tersebut. “Tentu tidak ada ruginya bagi Pemprov bila pada akhirnya lokasi itu bisa memberikan manfaat bagi masyarakat banyak,” ucapnya.