JAKARTA, HARIANHALUAN.ID – Bencana merupakan salah satu isu utama pembangunan nasional. Kejadian banjir di Jabodetabek pada Maret 2025 menjadi perhatian sekaligus pengingat keras bahwa penanganan banjir selama ini belum tuntas sehingga menyebabkan kejadian yang berulang.
Momentum banjir Jabodetabek selanjutnya menjadi studi kasus yang dibahas dalam Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Rakornas PB) pada 18-20 Maret 2025 lalu. Usulan rekomendasi yang telah disampaikan pada Rakornas PB kemudian ditandaklanjuti dengan diskusi “Ngopi Bareng BNPB road to Adexco 2025 ” bertajuk “Bisakah Jabodetabek bebas banjir?”.
Diskusi yang digelar pada Rabu (30/4) ini menghadirkan beberapa narasumber antara lain Kepala Subdirektorat Penegakan Hukum dan Penanganan Sengketa Penataan Ruang Wilayah II Kementerian ATR/BPN Audrei Winny Cynthiasari, S.T., M.T.; Direktur Sungai dan Pantai Kementerian PUPR Dr. Dwi Purwantoro S.T., M.T. ; dan Direktur Mitigasi Bencana BNPB Dr. Ir. Berton Suar Panjaitan, M.Si.
Membuka diskusi, Audrei merespon terkait adanya pedoman cetak biru dalam rencana penggunaan lahan. Menurutnya, penyusunan tata ruang dalam upaya pengurangan risiko bencana perlu mempertimbangkan kawasan rawan bencana serta analisa daya dukung dan tampung lingkungan. Hal ini penting untuk menghasilkan rencana tata ruang yang mengakomodasi kebutuhan tata ruang pada lokasi tertentu. Untuk mengurangi risiko banjir misalnya, penerapan zero delta Q dapat diupayakan untuk mengurangi limpasan. Zero delta Q merupakan konsep pengelolaan sumber daya air dengan cara menahan atau menampung limpasan air permukaan.
Penertiban dalam pemanfaatan ruang sudah diupayakan melalui pengaturan tata ruang hingga penggunaannya berdasarkan jenis aktivitas. Namun, celah penyalahgunaan ruang tetap terjadi di lapangan. Upaya pembinaan dilakukan untuk monitoring penyalahgunaan lahan terus dilakukan melalui penegakan hukum, tidak hanya pada pelanggarannya, namun juga pengembalian lingkungan yang terdampak dari pelanggaran.
Selain penataan ruang, upaya pengurangan risiko banjir juga membutuhkan peran infrastruktur yang memadai. Dwi mengatakan pola penataan sangat berpengaruh terhadap pola aliran air. Di Jabodetabek, pertumbuhan penduduk yang pesat mengakibatkan kebutuhan lahan untuk tempat tinggal dan kebutuhan lainnya meningkat. Saat ini tutupan lahan di wilayah Jabodetabek sudah mencapai lebih dari 80%. Hal ini berarti aliran air yang bisa masuk ke tanah hanya 20%. Keadaan ini jauh dari kata ideal yang seharusnya resapan air ke tanah sebanyak 60-70%.
Upaya mitigasi struktural telah dilakukan oleh pemerintah pusat, melalui pembangunan dry dam di Ciawi (Ciliwung dan Jakarta) dan Cimahi. Kedua dam ini mampu mereduksi 22%, masih ada 16 km yang belum tertanggul. Selain itu juga percepatan pelaksanaan pembebasan tanah untuk memitigasi melalui pembangunan infrastruktur. Pada area hulu, Pemerintah tengah membangun delapan titik kolam retensi untuk penampungan air hujan di wilayah puncak.
Dari segi mitigasi non struktural, Berton menyampaikan bahwa Pemerintah Pusat melalui BNPB melakukan koordinasi lintas pihak pelaku-pelaku seperti Kementerian/Lembaga, dunia usaha, non pemerintahan, media dan masyarakat. Selain itu, upaya pengurangan risiko banjir juga dilakukan melalui pedoman mitigasi banjir, penguatan desa tangguh bencana bersama pemerintah darah, serta edukasi dan simulasi evakuasi kejadian dengan keterlibatan masyarakat. Pengurangan risiko bencana dengan pendekatan kearifan lokal memegang peranan penting dalam membangun kesadaran masyarakat.
Komitmen pemerintah pusat dan daerah sangat penting dalam upaya penanganan banjir. Komitmen ini tidak hanya terkait anggaran namun juga koordinasi seluruh pelaku kebencanaan termasuk para pelaku dunia usaha. Mewujudkan Jabodetabek bebas banjir tidak bisa hanya by accident saja, namun membutuhkan perencanaan yang komprehensif dengan melibatkan semua sektor.
Salah satu bentuk upaya kolaboratif pengurangan risiko non struktural adalah melalui Asia Disaster Management & Civil Protection Expo & Conference (Adexco 2025). Kegiatan ini akan menjadi wadah bertemunya berbagai unsur penanggulangan bencana termasuk pihak swasta yang bergerak dalam bidang peralatan dan layanannya kebencanaan. Kegiatan yang akan diselenggarakan pada bulan September mendatang dilengkapi muatan edukasi melalui seminar kebencanaan. Seluruh lapisan dan unsur masyarakat dapat hadir untuk meningkatkan wawasan kebencanaan. (*)