Melihat Sumbar Dalam Pancagatra Sosial
Sebelum bicara soal bangkit, tentu perlu untuk lebih dahulu melihat keadaan Sumbar hari ini. Dalam beberapa hal, secara ringkas saya coba melihatnya melalui sudut pandang pancagatra sosial (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya). Untuk memahaminya secara mendalam, tentu perlu pengetahuan tentang sejarah, politik, ekonomi, budaya, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi wilayah Sumbar. Berikut adalah gambaran sederhana saja, disimpulkan dari berbagai literatur, antara lain:
- Ideologi: Minangkabau secara tradisional menganut adat dan budaya matrilineal, yang memengaruhi struktur sosial dan budaya. Namun, dalam era moderen ini, disebabkan melemahnya jati diri budaya orang Minangkabau, maka ideologi politik dan sosial menjadi semakin dominan mempengaruhi pola pikir individu dan kelompok. Sehingga berdampak terhadap pembangunan sumber daya insani, serta semakin sulitnya membangun kebersamaan dan persatuan. Karena para tokoh dan pemimpin sering terjebak dalam kacamata politik melihat keadaan Sumbar. Hal ini tentunya berdampak terhadap maju atau mundurnya peradaban Minangkabau sebagai suku kaum yang banyak menentukan warna Sumatera Barat ke depan.
- Politik: Politik di Sumbar, sama seperti di seluruh daerah-daerah di Indonesia, dipengaruhi oleh dinamika nasional dan lokal. Partai-partai politik memiliki peran dalam pemerintahan dan pengambilan keputusan politik. Pengaruh politik dalam setiap negara (khususnya yang mempunyai kekayaan alam) akan senantiasa dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Kekuatan asing yang berorientasi keuntungan akan senantiasa bermain dan memanfaatkan situasi kacau yang terkadang sengaja diciptakan untuk memuluskan agendanya. Di sini warga Sumbar perlu waspada, dan dalam hal ini, hanya kekuatan jati diri budaya yang dapat menjadi pengikat hubungan antara masyarakat sebagai benteng yang melindungi kepentingan jangka panjang untuk anak cucu. Tapi selama ini, ini benar yang diabaikan oleh (terutama) pemerintah, karena ketidak-tahuan.
- Ekonomi: Sebenarnya Sumbar memiliki potensi ekonomi yang besar, semisal dalam sektor pertambangan (emas dan lain-lain), pertanian, perkebunan, dan juga pariwisata (alam, kuliner dan sejarah/budaya). Namun, tantangannya adalah ketersediaan infrastruktur yang kurang berkembang, ketidak-setaraan ekonomi, kurangnya ketersediaan lapangan pekerjaan dan beberapa hal lainnya. Di sisi lain, terjadi tarik menarik kepentingan politik antara pusat dan daerah, atau percaturan politik lokal di Sumbar khususnya antara yang berkuasa dengan yang berada di luar kekuasaan. Nampaknya semua ini akan tetap menjadi penghalang terciptanya pembangunan ekonomi jangka panjang yang berdaya guna, sudah untuk bangkit, sehingga akhirnya Sumbar tidak dapat melahirkan suatu kebijakan ekonomi yang berkelanjutan.
- Sosial: Dulu masyarakat Minangkabau memiliki kebiasaan sosial yang unik, termasuk adat istiadat yang kuat dalam bingkai sistem kekerabatan matrilineal. Namun, globalisasi dan modernisasi telah membawa perubahan sosial tradisional yang menggerus tatanan sosial yang dulu pernah ada dan berdaya guna. Terpinggirnya pendidikan tentang kebudayaan lokal semisal: mata pelajaran Budaya Alam Minangkabau, adalah salah satu contoh. Membuat (terutama) generasi muda mulai tercerabut dari akar budaya mereka sehingga melahirkan pranata sosial yang baru dan merugikan. Minimnya pengetahuan dan pemahaman mereka tentang cara hidup (budaya) sendiri, membuat mereka mencintai budaya luar atau asing, inilah salah satu sumber pemantik terjadinya perubahan sosial. Bahkan ketidak-pahaman ini juga membuat mereka cenderung memandang rendah budaya sendiri. Contohnya penggunaan bahasa dalam pergaulan sosial, mereka menganggap bahasa Minangkabau itu kasar atau lain-lain alasan, sehingga dipinggirkan. Pada hal seandainya mereka tau, seandainya para intelektual, para tokoh dan para pemimpin Sumbar paham tentang betapa pentingnya fungsi dan peran bahasa ini. Niscaya mereka akan amat sangat takut dan khawatir dengan ancaman masa depan terhadap nasib anak cucu mereka.
- Budaya: Budaya Minangkabau kaya akan seni, musik, tarian, dan masakan yang khas, ini adalah sesuatu kebenaran yang tak bisa disangkal. Tetapi makna budaya tidak hanya sesempit itu. Budaya adalah cara hidup yang sangat luas cakupannya. Cara hidup (budaya) orang Minangkabau rujukan utamanya adalah prinsip yang ada dalam falsafah Adaik Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK), itulah dasar jati diri budaya Minangkabau. Sekarang pertanyaannya, sejauh mana kah pengetahuan dan pemahaman para tokoh dan pemimpin Minangkabau saat ini tentang ABS-SBK? Sekarang, mata pelajaran Budaya Alam Minangkabau (BAM) sudah dihapuskan. Sedangkan BAM itu adalah aspek dasar bagi anak-anak Minangkabau untuk memahami ABS-SBK sebagai dasar jati diri budaya mereka. Sejak 2013 secara umum anak-anak Minangkabau tidak lagi punya sarana untuk mengenal pondasi budaya mereka. Sekarang mereka sedang dilibas oleh arus globalisasi dan modernisasi. Jadi jangan salahkan jika ada generasi hari ini terperosok ke dalam pengaruh budaya luar yang tidak sehat. LGBT adalah budaya dari luar, kehilangan keperawanan dan keperjakaan adalah sesuatu yang biasa dalam budaya luar. Melawan kepada orang tua dan guru adalah juga budaya dari luar. Dulu ketika jati diri budaya masyarakat masih kuat, jika kedapatan ada laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim jalan berdua saja, itu sudah jadi bahan gunjingan, itulah bentuk kontrol sosial. Sekarang duduk berdua-dua-an dan berpelukan di taman gelap sudah jadi hal biasa. Baru-baru ini, sebuah klip video beredar di media sosial, ada tiga orang perempuan murtadin Minangkabau cuap-cuap dan tanpa malu mengaku pindah agama. Mereka tidak pikir lagi betapa malunya keluarga sesuku dan sekaumnya di kampung. Ini semua karena jati diri budaya yang sudah hilang, sehingga hilang pula rasa malu dan kebersamaan.
Dari keterangan di atas, dapat diambil intinya bahwa pembangunan dari segi aspek politik dan ekonomi di Sumbar memang kurang bergerak maju. Hal ini karena ketimpangan ekonomi dan konflik politik masih menjadi tantangan yang perlu diatasi. Dalam bidang sosial budaya, perubahan terus terjadi, keberadaan budaya tradisional semakin terpinggirkan, walaupun masih ada yang ingin tetap bertahan, tetapi kondisi mereka tertatih-tatih karena kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Sementara yang lain sudah hanyut dalam derasnya pengaruh globalisasi dan modernisasi. Dari segi pertahanan dan keamanan, secara umum, Sumatera Barat atau Minangkabau relatif masih stabil meskipun beberapa tantangan keamanan seperti kejahatan dan konflik sosial masih ada. (*)