PADANG, HARIANHALUAN.ID– Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang menilai bahwa Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Sumatera Barat Tahun 2025-2045 mengandung cacat prosedur yang serius.
Menurut LBH Padang, proses penyusunan Ranperda ini tidak mematuhi prosedur yang berlaku dan minim keterlibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan tersebut.
Direktur LBH Padang, Indira Suryani, menjelaskan bahwa Pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Pembahasan Ranperda baru dilakukan pada 25 Februari 2025, hanya beberapa minggu sebelum pengesahan Ranperda.
“Pansus baru dibentuk pada 25 Februari 2025, dan hanya kurang dari satu bulan kemudian, tepatnya pada 5 Maret 2025, Pansus sudah melakukan konsultasi dengan Kementerian ATR/BPN,” ujarnya.
Pada konsultasi tersebut, ada tiga poin yang disepakati, yaitu perlunya naskah akademik dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), keterlibatan masyarakat dan akademisi dalam kajian awal, serta pengumuman hasil konsultasi sebagai dasar perbaikan draf Ranperda.
Namun, hingga pengesahan Ranperda pada 17 Maret 2025, dokumen-dokumen tersebut belum dapat diakses oleh publik, menimbulkan kecurigaan tentang transparansi dalam proses ini.
Lebih lanjut, Indira mengkritik proses konsultasi yang dianggap tidak maksimal. Pada pertemuan yang diadakan pada 8 Maret 2025, banyak masyarakat yang terdampak dari 19 kabupaten/kota di Sumbar tidak terlibat secara langsung.
“Proses konsultasi yang hanya berlangsung satu hari ini jelas tidak cukup untuk melibatkan seluruh pihak yang akan terkena dampak, terutama masyarakat adat,” ujar Indira.
Kritikan juga muncul terkait dengan substansi Ranperda itu sendiri, yang tidak mengakomodasi kepentingan masyarakat lokal, seperti di Kepulauan Mentawai dan Kabupaten Tanah Datar.
Di Mentawai, hutan adat masyarakat tidak diakui dalam Ranperda, sementara di Tanah Datar, rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) ditolak oleh masyarakat lokal, namun tetap tercantum dalam Ranperda.
Indira menegaskan bahwa LBH Padang bersama Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar akan terus memperjuangkan transparansi dan partisipasi publik dalam perumusan kebijakan RTRW ini agar tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi juga masyarakat yang terpengaruh oleh kebijakan tersebut. (*)