“Padahal tidak semua polisi yang meminta uang saat melakukan penilangan. Namun, kebiasaan masyarakat kita sudah terlanjur seperti itu, entah maksudnya sebagai ungkapan terima kasih atau tujuan lainnya,” ujar Eka Vidya kepada Haluan Kamis (18/5).
Eka menilai, kebiasaan masyarakat yang terkena tilang manual memberikan uang damai kepada polisi, mengindikasikan bahwa penegakan hukum pelanggaran lalu lintas masih belum selaras secara formal dan informal. “Hukum formal artinya sesuai prosedur, sementara hukum informal adalah kebiasaan yang berkembang di masyarakat. Nah, regulasi baru bisa benar-benar tegak jika hukum formal dan informalnya selaras,” ucapnya.
Agar hukum penegakan lalu lintas benar-benar bisa berjalan dengan baik serta tidak memberikan ruang bagi perilaku korup yang bisa menjatuhkan citra Polri di tengah masyarakat, kata Eka, setiap anggota Polri harus berani menolak segala bentuk pemberian uang dari masyarakat.
“Masyarakat harusnya juga seperti itu, tidak lagi membiasakan memberi uang kepada polisi. Sebab bagaimanapun, kebiasaan itu harus mulai dihilangkan agar tidak menjadi budaya yang bukan lagi dianggap sebagai suatu penyimpangan,” tegas Eka.
Eka bahkan menyebut, pemberian uang damai atau suap, sejatinya merupakan penyakit yang telah terlanjur menjadi budaya yang menjangkiti masyarakat, pejabat atau bahkan aparat penegak hukum di negeri ini. “Untuk itu, jika tilang manual ini berkaitan dengan citra, sudah seharusnya para polisi mulai menolak uang damai, begitupun masyarakatnya. Penyimpangan ini harus mulai diubah dan dihilangkan agar tidak terus menerus menjadi budaya,” tutupnya.
Perlu Penyempurnaan
Sementara itu, Ketua Pusat Transportasi LPPM Unand, Yosritzal, PhD menilai, pihak kepolisian masih tetap harus mempertahankan mekanisme tilang manual sembari terus berupaya menyempurnakan sistem tilang secara elektronik.