Tak lama berselang, Wahid muncul di ambang pintu diikuti perempuan enam puluhan yang kelihatan masih cekatan dan langsung menghampiri Jamarah yang terlihat meringis menahan rasa sakit. Hanya dengan meraba perut Jamarah, tek Suri tersenyum kecil.
“Belum saatnya, nanti beberapa jam lagi tapi kau tak boleh tertidur,” kata sang dukun.
Ada guratan kekhawatiran terbayang di wajah Kari Wahid. Ia sendiri tak mengerti kenapa, padahal kelahiran anaknya kali ini bukanlah yang pertama tapi untuk kesembilan kalinya. Tak biasanya ia seperti sekarang. Ada rasa cemas bercampur gelisah. Namun ia coba untuk menenangkan diri sambil duduk Kari berdo’a untuk keselamatan istrinya.
Malam kian beranjak larut. Sementara istrinya mulai mengerang menahan rasa sakit. Pelan Kari Wahid, lelaki yang biasanya sangat tegar ini mulai gelisah. Jam dinding berdentang satu kali, Wahid, memalingkan wajahnya ke arah jam.
“Setengah dua belas,” gumamnya. Kegelisahannya semakin terasa, pelan dia berdiri berjalan ke arah pintu kemudian duduk kembali di kursi rotan yang sudah mulai usang dimakan usia.
Istrinya bersama dukun sudah pindah ke ruang tengah. Lapat-lapat Kari Wahid mendengar suara Tek Suri, menyuruh istrinya ngedan.” Ulang baliak, ayo taruih, taruih, tarui, iyah. Alhamdulillah,” terdengar Tek Suri mengakhiri perintahnya. Bersamaan dengan itu terdengar suara bayi menangis.