Lebih lanjut Ia juga mengatakan, di antara hal yang unik dan sering ditanyakan adalah sebab masjid ini tidak memakai kubah. “Kubah bukan ciri khas Islam, gedung putih pun juga pakai kubah. Ciri khas Islam itu menara,” tuturnya.
Kemudian ada filosofinya mengapa ujungnya seperti gonjong dan memiliki empat sisi, selain karena desainernya juga berdarah Minang, sehingga dimasukkan sentuhan Minangkabau-nya, empat ujung melancip sebagai pengingat salah satu sejarah Islam saat nabi meletakkan Hajar Aswad bersama empat suku penduduk Qurais.
Sobhan menjelaskan, saat nabi berumur 35 tahun dan belum menjadi rasul, sempat terjadi banjir di Makkah, sehingga rusaklah Kabah. Saat diperbaiki bersama-sama secara bergotong royong, ketika akan meletakkan Hajar Aswad di tempatnya, empat suku berebut dan merasa paling berhak.

“Jadi, waktu itu ada empat suku Qurais yang mengatakan lebih berhak meletakkan Hajar Aswad ke tempat semula. Dengan bijak nabi yang waktu itu sangat dipercaya penduduk Qurais dan digelari Al-Amin, membuka sorbannya dan membentangkannya di tempat penyimpanan Hajar Aswad itu. Diletakkan Hajar Aswad di tengah-tengahnya. Lalu dipanggil perwakilan masing-masing suku yang empat tadi. Jadi dipegang ujung sorban, kemudian mereka angkat bersama-sama ke dekat tempat diletakkan Hajar Aswad. Lalu, Nabi yang mengangkat ke tempat semula,” tuturnya.
Masing-masing kaum pun puas dan gembira dengan kebijakan itu, gambaran masing-masing sudut kain yang terangkat itulah yang menjadi filosofi Masjid Raya Sumbar.
Dengan desain yang megah, tak heran jika Masjid Raya Sumbar menjadi destinasi wisata religi yang bukan hanya menjadi tempat beribadah, namun juga incaran bagi kaum milenial dan wisatawan dari dalam dan luar Sumbar untuk berswafoto.