Diakui Djo, uang daerah dari transfer pusat yang terbatas itu memang bisa ditambah dengan menggali PAD (pendapatan asli daerah). Sayangnya, hanya daerah kaya yang bisa punya PAD tinggi, seperti DKI Jakarta, Kabupaten Badung di Bali, dan Kota Tangerang Selatan di Banten.
“Banyak daerah PAD-nya pas-pasan untuk membiayai anggota DPRD saja. Jangan heran, kalau banyak daerah kita jalannya rusak, sekolah ambrug dan jembatan gantung di desa saja tak terbangun, gara-gara uangnya sudah tak ada. Visi dan misi yang dijanjikan kepala daerah waktu kampanye tak terdukung oleh APBD yang ada,” kata Prof Djo.
Dana transfer ke daerah yang relatif tak mencukupi itu, dipatok pula oleh pusat penggunaannya. Maka, dana DAU (block grant), sekarang rasa DAK (spesific grant). Semua penggunaannya harus sesuai petunjuk pusat. Begitu pula penata-usahaan keuangan daerah diseragamkan lewat SIPD (sistem informasi pemerintahan daerah) yang kaku dan dikelola pusat.
“Keadaan itu diperparah oleh mayoritas aktor pemerintahan lokal kita yang tak amanah mengelola pemda dan berperilaku koruptif. Dalam tempo 20 tahun ini, sudah lebih dari 400 orang kepala daerah dan wakil kepala daerah yang kena kasus hukum. Mereka cenderung pragmatis, jalankan saja apa adanya,” jelas Prof Djo. (*)