Oleh Inosensius Enryco Mokos, M. I. Kom
Peneliti Komunikasi Politik, Pendidikan, Publik dan Budaya
Di tengah geliat pasar keuangan global yang semakin kompleks, investasi etis dalam ekonomi syariah muncul sebagai oase integritas yang menjanjikan harmoni antara profitabilitas dan prinsip moral. Tidak sekadar wacana religius, sistem keuangan syariah—dengan fondasi larangan riba, spekulasi berlebihan dan investasi di sektor merusak—kini menjadi sorotan utama para pelaku pasar yang peduli terhadap keberlanjutan.
Islamic ETFs, sebagai instrumen unggulan, membuktikan bahwa kepatuhan pada nilai-nilai syariah tidak menghalangi kompetisi dengan dana konvensional, bahkan kerap menunjukkan ketangguhan di tengah krisis.
Dengan adanya kesadaran akan keberlanjutan dan keadilan sosial, bisakah investasi syariah menjadi jawaban atas dilema klasik dunia keuangan: bagaimana meraih imbal hasil optimal tanpa mengorbankan prinsip etika? Ekonomi syariah, dengan fondasi larangan riba, spekulasi merusak, dan investasi di sektor haram, menawarkan paradigma unik yang selaras dengan tren ESG (Environmental, Social, Governance).
Di tengah dominasi pasar konvensional yang sarat instrumen berbasis utang dan derivatif, pertanyaan kritis mengemuka: sejauh mana Islamic ETFs mampu bersaing secara kinerja sambil tetap menjaga kemurnian prinsip syariah? Esai ini akan mengupas tuntas kontradiksi tersebut—menganalisis daya saing dana syariah, mengidentifikasi tantangan kompleks dalam menjaga kepatuhan di pasar modern, serta menawarkan solusi inovatif untuk membuktikan bahwa etika dan profitabilitas bukanlah dua kutub yang mustahil dipertemukan.
Investasi Etis dalam Ekonomi Syariah
Islamic Exchange-Traded Funds (ETFs) di Indonesia telah mengalami perkembangan signifikan dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan investasi berbasis syariah dan dukungan regulasi dari otoritas keuangan. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan instrumen investasi yang sesuai dengan prinsip syariah, termasuk ETF.
Islamic ETF pertama di Indonesia diluncurkan pada tahun 2020 oleh PT BNP Paribas Asset Management dengan produk ETF Syariah IDX30, yang meniru performa indeks IDX30 Syariah. Indeks ini terdiri dari 30 saham syariah terlikuid di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang telah lolos screening syariah oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
Produk ini menjadi pionir dalam memperkenalkan konsep ETF syariah kepada investor ritel, menggabungkan keunggulan ETF (likuiditas tinggi, biaya rendah) dengan prinsip syariah.
Pada tahun 2022, PT Syailendra Capital meluncurkan Syailendra Sharia ETF, berfokus pada saham syariah dengan pertumbuhan tinggi di sektor teknologi, konsumsi, dan infrastruktur. Perkembangan ini menunjukkan diversifikasi tema dalam ETF syariah, tidak hanya terpaku pada indeks besar.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) aktif mendorong pertumbuhan pasar modal syariah melalui regulasi seperti POJK No. 15/2020 tentang Reksa Dana Syariah, yang memperkuat kerangka kerja ETF syariah. BEI juga memperluas daftar indeks syariah, seperti ISSI (Indeks Saham Syariah Indonesia) dan JII 70 (Jakarta Islamic Index 70), sebagai acuan bagi pengembangan produk ETF.
Kinerja Islamic ETFs vs. Dana Konvensional
Islamic ETFs, seperti iShares MSCI World Islamic ETF atau HSBC Islamic Global Equity Index, dirancang untuk mematuhi prinsip syariah dengan menyaring perusahaan berdasarkan rasio utang, pendapatan non-halal, dan aktivitas bisnis. Studi menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, kinerja Islamic ETFs kompetitif dengan dana konvensional.
Islamic ETFs pernah mengalami resiliensi di masa krisis. Selama krisis 2008, indeks syariah seperti S&P 500 Sharia mengalami penurunan lebih kecil dibandingkan indeks konvensional, karena minimnya eksposur ke sektor finansial yang rentan.
Penelitian Thomson Reuters (2020) menemukan bahwa Islamic ETFs menghasilkan return tahunan rata-rata 6-8%, setara dengan rekan konvensional, meski dengan volatilitas lebih rendah. Keterbatasan investasi di sektor tertentu (misalnya, teknologi atau kesehatan) bisa mengurangi risiko, tetapi juga membatasi potensi keuntungan di sektor seperti energi yang fluktuatif.
Di tengah inovasi keuangan yang bergerak cepat—mulai dari derivatif kompleks hingga algoritma perdagangan berkecepatan tinggi—prinsip syariah yang berusia ribuan tahun dihadapkan pada ujian adaptasi yang belum pernah terbayangkan.
Dengan prospek ke depan yang begitu cerah, tetap ada tantangan yang menghantui bagi perkembangan Islamic ETFs dan juga tantangan menjaga kepatuhan syariah di pasar modal. Ada beberapa tantangan yang dapat dibahas. Pertama, dinamika pasar keuangan. Instrumen derivatif dan transaksi short-selling yang umum di pasar konvensional bertentangan dengan prinsip syariah, mempersulit replikasi strategi investasi canggih.
Kedua, screening yang kompleks. Proses penyaringan (sharia screening) memerlukan pemantauan berkala terhadap rasio utang, pendapatan non-halal, dan kepemilikan aset. Perubahan status perusahaan (misalnya, peningkatan utang) bisa mengeluarkannya dari daftar syariah, mempengaruhi likuiditas ETF.
Ketiga, biaya kepatuhan. Biaya audit syariah dan teknologi screening meningkatkan biaya operasional, berpotensi mengurangi imbal hasil.
Keempat, standarisasi global. Perbedaan fatwa antarnegara (misalnya, antara Malaysia dan Arab Saudi) menciptakan inkonsistensi dalam kriteria syariah.
Strategi Keberlanjutan
Investasi syariah membuktikan bahwa prinsip etika tidak harus mengorbankan profitabilitas. Perusahaan di sektor teknologi, kesehatan, dan energi terbarukan—yang dominan dalam portofolio syariah—mengalami pertumbuhan pesat seiring tren ESG global.
Keuntungan investasi syariah adalah minim risiko sistemik. Pembatasan utang mengurangi risiko gejolak ekonomi, menarik investor risiko-rendah. Investasi syariah juga mengembangkan Sukuk (Obligasi Syariah). Sukuk berbasis aset (bukan bunga) yang menawarkan imbal tetap yang kompetitif, dengan penerbitan global mencapai USD 100 miliar pada 2022.
Indonesia menargetkan menjadi pusat keuangan syariah global di tahun-tahun mendatang, dan Islamic ETFs merupakan salah satu pilar penting untuk mencapai ambisi ini. Dengan dukungan regulasi, inovasi produk, dan peningkatan literasi, Islamic ETFs berpotensi menjadi instrumen utama dalam portofolio investor yang menginginkan kombinasi antara keuntungan finansial, keberlanjutan, dan kepatuhan agama. Ada beberapa strategi keberlanjutan yang penting untuk dilakukan demi menunjang cita-cita ini.
Pertama, kolaborasi dengan fintech syariah. Integrasi platform investasi digital seperti Bareksa Syariah atau Ajaib Syariah dapat memperluas akses ETF syariah ke generasi muda.
Kedua, inovasi produk. Peluncuran ETF syariah berbasis Sukuk (obligasi syariah) atau sektor hijau (renewable energy) untuk menjawab tren ESG. Pengembangan ETF syariah global yang memungkinkan investor Indonesia mengakses pasar saham syariah internasional (misalnya, ETF MSCI Islamic Global Equity).
Ketiga, edukasi intensif. Kampanye literasi keuangan syariah oleh OJK, BEI, dan pelaku industri untuk meningkatkan pemahaman tentang keunggulan ETF syariah.
Keempat, insentif pajak. Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal bagi investor ETF syariah, seperti pengurangan pajak dividen atau capital gain, untuk meningkatkan daya tarik.
Investasi etis dalam ekonomi syariah bukan sekadar alternatif keuangan, melainkan cerminan komitmen kolektif untuk membangun sistem ekonomi yang manusiawi dan berkelanjutan.
Islamic ETFs, dengan kinerja yang mampu menyaingi dana konvensional, membuktikan bahwa prinsip syariah bukanlah penghalang, melainkan pondasi untuk menciptakan nilai jangka panjang. Meski tantangan menjaga kepatuhan syariah di pasar modern tetap mengemuka—mulai dari kompleksitas screening hingga fragmentasi regulasi—solusi inovatif berbasis teknologi, harmonisasi standar global, dan edukasi masif dapat menjadi kunci transformasi. Pada akhirnya, investasi syariah mengajarkan satu hal: keuntungan finansial dan integritas moral bukanlah dua pilihan, melainkan dua sisi dari mata uang yang sama. Semoga!